Senin, 30 Agustus 2010

Empat Kaidah Iyyaaka Na'budu

"Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan." (Al-Fatihah: 5).



Sebagai muslim tentunya ayat di atas tidak asing bagi kita. Minimal tujuh belas kali kita ulang dalam salat fardu lima waktu. Namun, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, sejauh mana kita dapat menyelami makna surah Al-Fatihah tersebut? Kalau belum, mari sejenak kita menyelami empat kaidah iyyaaka na'budu yang dikemukan oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut.



Iyyaaka na'budu tegak di atas empat kaidah: mewujudkan apa yang dicintai dan diridai Allah dan Rasul-Nya, berupa







perkataan hati,

perkataan lisan,

amalan hati, dan

amalan jawarih (anggota tubuh).

Ubudiyyah merupakan sebutan yang menyeluruh untuk empat tingkatan ini. Orang yang melaksanakan iyyaaka na'budu dengan sebenar-benarnya ialah yang melaksanakan empat tingkatan ini.



Perkataan hati ialah meyakini apa yang disampaikan Allah tentang diri-Nya, asma, sifat, dan perbuatan-Nya, tentang malaikat, dan perjumpaan dengan-Nya, sebagaimana yang disampaikan para rasul-Nya.



Perkataan lisan ialah berupa pernyataan darinya tentang hal itu, seruan kepada Allah (dakwah), menjelaskan kebatilan bidah, mengingat Allah dan menyampaikan perintah-perintah-Nya.



Amal-amal hati adalah seperti cinta kepada Allah, tawakal, bergantung kepada-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, memurnikan agama dengan melaksanakan agama-Nya sesuai ajaran Rasul-Nya, sabar dalam melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, rida kepada-Nya, menolong karena-Nya dan bermusuhan karena-Nya pula, tunduk dan patuh kepada-Nya, thuma'ninah kepada-Nya, dan lain sebagainya yang berupa amalan hati. Kefarduan amalan hati ini lebih dari kefarduan amalan anggota tubuh, dan yang sunahnya lebih disukai oleh Allah daripada sunah-sunah anggota tubuh. Adapun amal-amal jawarih adalah seperti salat, puasa, jihad, mengayunkan kaki menuju salat jamaah dan salat Jumat, membantu orang lain, berbuat kebajikan kepada makhluk, dan sebagainya.



Iyyaaka na'budu mengikuti hukum empat kaidah dan ikrar kepadanya. Adapun iyyaaka nasta'iin merupakan tuntutan meminta pertolongan atas hokum-hukum itu serta taufik-Nya. Sedangkan ihdinaa ash-shiraath al-mustaqiim mencakup pengakuan terhadap dua perkara ini secara detail, ilham untuk melaksanakannya dan meniti jalan-jalan orang-orang yang berjalan kepada Allah dengan dua perkara itu.



Semua rasul hanya menyeru kepada iyyaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin. Mereka semua menyeru kepada tauhidullah (mengesakan Allah) dan penyembahan hanya kepada-Nya, semenjak rasul pertama hingga terakhir.



Demikianlah ulasan singkat ini untuk dapat menjadi bahan renungan bagi kita. Wallahu a'lam.


copas Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Senin, 09 Agustus 2010

Adzab Orang yang Lalai Dalam Shalat
Al-Haafidz Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala berkata, yang dimaksud orang-orang yang lalai dari shalatnya adalah:
  1. Orang tersebut menunda shalat dari awal waktunya sehingga ia selalu mengakhirkan sampai waktu yang terakhir.
  2. Orang tersebut tidak melaksanakan rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Orang tersebut tidak khusyu’ dalam shalat dan tidak merenungi makna bacaan shalat.
Dan siapa saja yang memiliki salah satu dari ketiga sifat tersebut maka ia termasuk bagian dari ayat ini (yakni termasuk orang-orang yang lalai dalam shalatnya).
Apa Adzabnya ?
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari sahabat Samurah bin Junab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang panjang tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam kisah tentang mimpi beliau):
“Kami mendatangi seorang laki-laki yang terbaring dan ada juga yang lain yang berdiri sambil membawa batu besar, tiba-tiba orang tersebut menjatuhkan batu besar tadi ke kepala laki-laki yang sedang berbaring dan memecahkan kepalanya sehingga berhamburanlah pecahan batu itu di sana sini, kemudian ia mengambil batu itu dan melakukannya lagi. Dan tidaklah ia kembali mengulangi lagi hal tersebut sampai kepalanya utuh kembali seperti semula dan ia terus-menerus mengulanginya seperti semula dan ia terus-menerus mengulanginya seperti pertama kali.”
Disebutkan dalam penjelasan hadits ini “Sesungguhnya laki-laki tersebut adalah orang yang mengambil Al-Qur’an dan ia menolaknya, dan orang yang tidur untuk meninggalkan shalat wajib.”
Lalu Bagaimana Orang yang Meninggalkan Shalat Secara Mutlak ?
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat secara keseluruhan hukumnya kafir keluar dari Islam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Perbedaan antara kita dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi -Shahih)
Demikianlah Ukhti, marilah kita bersama-sama berusaha maksimal untuk memperbaiki shalat kita karena ketahuilah bahwa amalan yang pertama akan dihisab oleh Allah di akhirat nanti adalah shalat. Dan kita memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dari kehinaan dan kondisi orang-orang yang di adzab Allah karena lalai dari shalat.
Maraji’:
Setelah Maut Datang Menjemput (Khalid bin Abdurrahman Asy-Syayi’)

Sumber : Muslimah.or.id
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar